www.cukasihsejahtera.org – Udara sangat panas di siang itu. Tiada seorang pun yang lalu-lalang di jalan setapak itu. Dari kejauhan tampak beberapa orang bercengkerama di bawah deretan pohon rindang. Ada juga yang tidur-tiduran menikmati angin semilir bersama bocah-bocah yang enggan berlarian. Tapi panas yang menyengat dan membakar itu tak berlaku bagi Yovita Leu, perempuan paruh baya yang hari-hari hidupnya diisi dengan bermain lumpur. Hawa yang menyengat kulit itu terkadang hanya memaksanya mengambil rehat sejenak untuk mengisi ulang paru-parunya dengan oksigen segar, lalu kembali berjuang menata adukan lumpur ke dalam cetakan. Kedua tangannya cekatan menempatkan bara pada tungku pembakaran. Sesekali tangan kirinya mengusap peluh di wajahnya.
Tak ada waktu untuk membuat alasan. Mimpi harus dikejar, target harus digapai. Wanita kelahiran Obe, 17 Agustus 1980, itu tanpa guratan keluhan terus membakar adukan lumpur yang telah diubah menjadi bata cetakan. Kegiatan membuat bata ini telah ditekuninya sejak lama, sebagai warisan keluarga yang patut dilanjutkan. Waktu telah menata jari-jemarinya menjadi begitu terampil hingga namanya dikenal sebagai salah satu pencetak bata terbaik di tanah Timor.
Ibu dari tiga anak ini menceritakan proses pembuatan bata yang tak mudah hingga mendapatkan bata berwarna merah. Seperti emas ditempa dalam tanur api, batapun demikian. Proses pembuatannya dimulai dengan menentukan struktur tanah yang layak, menggali, menyiram, mengaduk tanah menyerupai adonan tepung, mencetak, membakar, lalu menjual.
“Tak ada yang mudah, Pak. Ada proses panjang yang harus dilewati sebelum menjadi bata. Ukuran cetakan pun telah kami sepakati bersama dalam lingkungan kerja ini, yaitu harus memiliki ketebalan enam sentimeter, panjang delapan belas sentimeter dan lebar sepuluh sentimeter,” ujarnya sambil menunjukkan cetakan bata di tangannya kepada kami, tim Credit Union Kasih Sejahtera (CUKS) Kantor Cabang Pembantu (KCP) Insana, yang berkunjung pada Kamis (11/10) siang itu. “Ada empat belas ribu buah bata pada sekali bakar. Makanya butuh waktu sehari-semalam penuh untuk mendapatkan hasil yang baik. Terkadang kami harus bergantian menjaga api agar tetap menyala,” sambungnya.

Doc by – Ferdi Lelan
Siang itu, bara dalam terowongan itu bagaikan cinta Shinta kepada Rama yang tak lekang oleh apapun. Panasnya menjangkau jarak hingga sepuluh meter. Sambil memperbaiki topi kecilnya, Yovita lanjut berkisah tentang hari-hari hidupnya membakar mimpi lewat potongan bata merah. Ada cinta yang sangat kuat untuk hidup bermartabat dalam titik-titik peluh di sekujur tubuhnya, ada juga tangis yang sunyi di tengah deru kobaran api yang melahap ukiran bata mentah. Tapi siapa yang peduli pada nasib orang lemah? Setiap pekerja patut mendapat upah, kata Santo Paulus.
“Setelah dibakar, bata harus didinginkan terlebih dahulu selama, kurang lebih, seminggu. Setelah itu baru boleh dijual,” suara Yovita memecah keheningan setelah sepersekian menit kami membisu. Tak ada kalimat yang siap kusambung untuk turut menghalau sunyi yang ada. Sejak tadi, dia berkisah dan saya mencerna dengan imajinasi sendiri. Saya membayangkan anak-anaknya yang bersekolah dari hasil kerja kerasnya. Saya membandingkan kontrasnya hidup keluarga ini dalam setiap dua puluh empat jam: siang yang menyengat dari bara dan malam yang menyergap lewat dingin di dalam rumah kecil nan sempit. Tak ada ruang untuk menghangatkan hati.
“Kalau api sudah menyala di bubungan, itu berarti semua batu yang tersusun telah terbakar secara maksimal. Warna bata akan berubah menjadi merah terang. Bila warnanya merah pucat, itu tandanya bata belum benar-benar siap. Harus dibakar lagi sampai merah terang,” ungkapnya sambil menunjuk api yang telah merambat mencapai bubungan susunan pembakaran.
Di sekeliling lahan kerja yang lapang itu saya menyaksikan lubang tak beraturan di atas tanah. Entah berapa diameternya namun cukup luas di tengah tanah lapang itu. “Mungkin bata-bata itu diambil dari sini,” gumamku. “Lubang bekas galian yang tidak dikerjakan lagi akan ditanami pohon pisang,” katanya menunjuk barisan pohon pisang pada beberapa lubang sebagai bukti betapa ia juga ikut menjaga keseimbangan alam, tempat ia mengumpulkan rezeki.
Tak ada usaha yang yang tak dihargai. Tak ada proses yang berkhianat pada hasil. Setiap kerut dan luka di tangannya dihitung, meski tak seberapa, pada saat penjualan bata. Yovita mematok harga 500 rupiah per bata. Itu harga termurah yang tidak sebanding dengan proses pembuatannya, namun ia telah menghitungnya dengan baik. “Saya menyiapkan bata berkualitas baik, sedangkan pembeli menyiapkan biaya angkut tanpa kompromi,” ucapnya sambil tertawa kecil seakan mengetahui kesangsianku atas keuntungannya dalam usaha ini. “Di antara lumpur dan api, kami akan terus menyusun mimpi. Sekecil dan sebesar apapun itu tetap harus disyukuri,” katanya. (Ferdi Lelan)
Mantap kisahnya…